Kamis, 19 November 2009

Hadiah Spesial Buat Riniku - 1

Januari pagi 2001
Hujan turun deras sekali penglihatan sedikit kabur karena kaca mobil
tertutup embun yang menempel dikaca depan. AC kunyalakan walaupun udara
terasa dingin menusuk tulang. Saat itu sudah jam 7.30 pagi, jadi sudah
tak mungkin lagi menunda untuk berangkat kekantor apalagi jam 8.00 ada
janji meeting dengan client.


Mobil kujalankan pelan dan hati hati, maklum jalan di depan rumah
tidak begitu lebar. Dari rumah ke jalan raya tidaklah begitu jauh
setelah satu tikungan kekiri maka akan kelihatan sebuah kaca spion
besar warna merah diperempatan jalan dan itulah jalan raya yang akan
membawa arah perjalananku menuju kantor.


Persis ditikungan sebelah kiri di depan sebuah wartel seseorang
melambaikan tangan meminta aku berhenti untuk minta tumpangan. Aku
tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena terhalang hujan yang
sangat deras, tetapi dia berambut sebahu dan berseragam SMU.



Mobil kupelankan, dan tanpa tunggu aba aba lagi dia lansung membuka pintu depan dan duduk disebelahku.



"Maaf Om saya kehujanan, dari tadi nunggu angkot penuh melulu.. Ya dari pada terlambat terpaksa mobil Om kustop, sorry ya Om."


Dia berkata polos sambil mengibaskan rambutnya yang menempel di
kerah baju karena basah.Sekilas tanpa sengaja tengkuknya kelihatan,
putih.. Bersih.. Dan ditumbuhi rambut rambut halus yang mebentuk satu
garis lurus ditengahnya.


"Nggak apa apa kok, memang hujan hujan begini angkotnya jadi sulit,
apalagi diujung jalan sana biasanya kan banjir, jadi sopir angkot jadi
enggan lewat sini."



Aku menjawab seadanya sambil kembali konsentrasi melihat jalan yang sudah digenangi air hujan.



"Om kantornya dimana," dia memecah kesunyian.



"Di daerah kuningan, memangnya kamu sekolah dimana," aku bertanya sambil melirik wajahnya.


Wow rupanya seorang bidadari kecil sedang duduk disebelahku,
wajahnya sungguh cantik. Bibirnya tipis kemerahan, hidungnya runcing
dan mancung sedangkan alis matanya hitam melengkung tipis diatas
matanya yang bulat bersinar.


Aku sedikit gugup dan kehilangan konsentrasi, mobil tiba tiba
memasuki genangan air yang cukup dalam. Air terbelah dua dan muncrat
kepinggir seperti gulungan ombak pantai selatan.



"Hati hati Om, banyak genangan dan licin..! Kita bisa slip nih," dia mengingatkan sambil menepuk pundakku.



"I.. i.. ya" jawabku sedikit tergagap.


"Kamu sekolah dimana," kuulangi pertanyaan yang belum dia jawab
sekedar menghilangkan rasa kaget dan gugup yang datang tiba tiba.


Perempuan memang makhluk yang luar biasa, aku sudah terbiasa
menghadapi banyak ragam perempuan, mulai dari yang centil di karaoke,
yang kenes di bar-bar sampai mantan pacar dirumah, tetapi kok aku tiba
tiba seperti menjadi seperti seekor tikus di incar kucing dihadapan
seorang anak SMU. Aku merasa kehilangan bahan pembicaraan, padahal
dikantor aku terkenal tukang bikin ketawa dengan omonganku yang suka
ngelantur.



"Di.. " dia menyebutkan sebuah sekolah di daerah Mampang Prapatan.



"O.. Kalau begitu kamu bisa ikut sampai timah, nanti tinggal nyambung naik metromini."



Rasa gugupku mulai hilang, pengalaman sebagai tukang cipoak berhasil mengontrol dan mengembalikan rasa percaya diriku.



"Makasih Om, kalau sudah sampai situ sih.. Gampang, jalan kaki juga nggak jauh kok."



"E.. ngomong ngomong kamu tinggal dimana sih, kok rasanya saya nggak pernah lihat kamu selama ini."


"Terang aja nggak pernah Om, orang aku baru pindah kok. Dulu aku
sekolah di Kudus sama Ibu, tapi.. " dia terdiam dan kelihatan wajahnya
seperti menyembunyikan sesuatu, apalagi aku dan dia sama sekali belum
berkenalan.


"Oh.. Pantas aja dong, e.. e.. namamu siapa?" aku bertanya tiba
tiba agar dia tidak merasa jengah karena aku tahu dia tidak mau
meneruskan cerita tentang masa lalunya di Kudus sana.



"Rini Om, Rini Kusumawardhani."


"Wah.. Itu betul betul sebuah nama yang pas buat kamu," aku mulai
melepaskan tembakan pertama sambil tersenyum semanis mungkin, ha ha ha
ha ha awas ada semut.


"Ah.. Om bisa aja," dia menjawab sambil tersipu. Woouu.. Hatiku
meronta melihat rona pipinya yang tiba tiba memerah bak awan senja
diufuk barat. Awan diufuk barat merah apa kuning ya! sebodoh amatlah..



"Tolong ambilkan uang di box dibawah tape itu Rin, buat bayar tol."


Dia menundukkan badan untuk menjangkau uang ke dalam box, aku
melirik ke kiri, tiba tiba pemandangan indah terbentang di sela sela
kerah bajunya. BH ukuran 34b sedang terisi dengan sempurna oleh
gelembung payudara yang kelihatan tambah putih dibalik baju seragamnya.


"Yang ini Om.. Oup," tiba tiba dia menyadari aku sedang menatap
kedua payudaranya yang kelihatan jelas dari balik kancing baju yang
terbuka diurutan paling atas.


"Maaf, Iya yang itu.. Yang lima ribuan," aku menjawab sambil
memalingkan muka dan lansung menginjak rem karena mobil di depan
berhenti tiba tiba. Tangan kanannya yang tadinya akan menutup kerah
baju tiba tiba menggapai sesuatu untuk pegangan agar dia tidak terantuk
ke dashboard mobil yang kurem secara mendadak.



Kali ini dia berteriak kecil
"Maaf Om aku nggak sengaja," tiba tiba dia menutup muka dengan
kedua tangannya karena malu dan jengah, soalnya sewaktu mencari tempat
berpegangan tadi, tangannya masuk kesela sela pahaku dan dia memegang
sesuatu yang sedang bergerak tumbuh menjadi keras nun dibalik CD ku.


Aku merasakan hentakan yang luar biasa keluar dari pangkal pahaku
menjalar ke batang penis dan terus bergerak bagai kilat ke arah
kepalanya, gerakan itu begitu dahsyat dan tiba tiba akibat terpegang
oleh tangan halus si Rini. Ruisleting celana ku seperti didorong
sesuatu sehingga menonjol runcing kedepan dan hapir mentok di stir
mobil.


"Alah mak. Jan.." kepalaku atas bawah berdenyut kencang, tetapi
klakson mobil dibelakang mengejutkan aku agar segera memberi jalan.


"Oi! pacaran jangan di tol, no pergi ke.." sisopir mengumpat sambil
menyebutkan sebuah nama pantai yang terkenal sebagai surganya mobil
goyang.


Itu adalah awal perkenalanku dengan Rini, gadis Kudus kelas 3 SMU
di Mampang Prapatan. Semenjak itu hampir tiap pagi Rini dengan setia
menunggu di depan wartel untuk berangkat bareng dengan mobilku.


Kami mulai bercerita tentang keadaan masing masing, rupanya dia
pindah ke Jakarta ikut pamannya karena orang tuanya bercerai dan Ibunya
tidak sanggup membiayai sekolahnya.


Di Jakarta dia hidup sangat prihatin, maklum tinggal dengan orang
lain walaupun dia paman sendiri tetapi tentu saja sipaman akan lebih
memperhatikan kepentingan anak serta istrinya terlebih dahulu sebelum
buat si Rini.


Hampir tiap hari dia hanya dibekali uang yang hanya cukup buat
ongkos angkot sedangkan buat jajan dan lain lain adalah suatu kemewahan
kalau memang lagi ada.


Hari demi hari berlalu dengan cepat dan aku dengan Rini kian dekat
saja, kalau dia disekolah ada kegiatan ekstrakulikuler maka pulangnya
dia akan mampir ketempat kerjaku, maklum kantorku berada diatas sebuah
plaza yang cukup besar.


Tugasku sebagai salah satu manager dengan gampang bisa kutinggalkan
1 atau 2 jam, toh ada sekretaris yang ngurusin. Aku juga tidak
menegerti kenapa Rini jadi begitu dekat denganku, kami jalan bersama,
nonton makan dan adakalanya dia minta dibeliin sesuatu, seperti baju
ataupun parfum. Tetapi itu tidak terlalu sering yang paling dia
harapkan dari aku adalah perhatian karena pernah satu hari dia terus
terang bicara.



"Om maaf ya kalau 2 minggu kemaren Rini nggak nemui Om dan juga sama sekali nggak ngasih kabar."


Dia berhenti sejenak sambil menatap aku, saat itu kami sedang
berjalan dipantai Ancol, dia memegang erat lenganku sambil menyandarkan
kepalanya. Tanpa dia sadari tangan kiriku sudah berulangkali menyentuh
ujung payudaranya apalagi ketika dia semakin erat merangkul. Payudara
itu begitu kenyal dan kelelakianku tiba tiba mulai terusik.



"Memangnya ada apa," aku menjawab sambil mengajak dia duduk disebuah bangku tembok dibawah pohon kelapa.


"Tadinya Rini sudah mau berhenti sekolah, habisnya uang sekolah
sudah 2 bulan tidak dibayar dan buat beli buku juga nggak punya." Dia
merenung sambil memandang jauh ketengah laut yang ditaburi kerlap
kerlip lampu nelayan dan sesekali kelihatan lampu pesawat yang hendak
turun di Sukarno Hatta.



"O.. Itu masalahnya, lantas kenapa kamu nggak ngomong aja sama Om"



"Nggak enak Om, ntar dikirain saya matre lagi.." dia menjawab sambil tersenyum.


"Rini.. Gini aja deh, kamu kan sudah tahu kalau Om mau Bantu kamu,
tapi kalau kamu nggak bilang, Ya terang aja Om nggak tahu! iya toh."


"Makasih Om.. Terus terang memang Rini mau minta tolong Om untuk
yang satu ini. Om nggak usah mikirin mau Bantu yang lain deh, tapi aku
akan berterimakasih sekali kalau Om bisa menyelamatkan sekolahku.. Itu
aja."


Dia tertunduk, wajahnya begitu sendu dan sorot matanya hampa tanpa
gairah. Aku begitu terenyuh melihat seorang Rini yang hari harinya
seharusnya dihiasi oleh tawa ceria dan penuh optimisme ternyata harus
menanggung beban demikian berat.



"Oup.. " Rini berteriak kecil karena kaget ketika kupingnya kutiup untuk memutus siklus lamunannya.



"Om nakal ya.." dia menepuk bahuku dengan mesra dan akhirnya malah memeluk aku.


Bau harum tubuhnya memenuhi rongga hidungku dan membangkitkan
keinginan untuk balas memeluknya. Kuraih bahu kirinya kurebahkan dia
diatas kedua pahaku, dia sedikit kaget, ingin menolak tetapi itu
terjadi demikian cepatnya. Akhirnya Rini meraih tangan kiriku dan entah
sengaja atu tidak tanganku didekap erat didadanya. Oooh.. Lembutnya
daging itu, payudara muda yang masih segar dan ranum telah mengalirkan
sensasi elektrik ribuan volt ke sekujur tubuhku.


Aku yakin Rini merasakan sesuatu yang bergerak menyentuh
punggungnya, karena posisi tidurnya persis tepat di atas batang
penisku. Aku tahu itu karea Rini berusaha mengangkat pungungnya untuk
kembali duduk dan wajahnya kelihatan memerah karena malu. Tapi dengan
lembut gerakan duduknya kutahan dengan menekan dadanya.



"Rin.. Sudah tidur aja.. Nih Om kipasin biar nggak gerah."



Aku hanya sekedar bicara karena jujur aja otakku sudah ditaburi bayangan lain yang lebih seru. Tapi kuyakinkan diriku.


"Ini si Rini yang sama sekali belum berpengalaman, sedikit saja
kamu salah langkah akan bubar semuanya. Sabar.. Sabar, gunung nggak
usah dikejar emang dia nggak pernah lari kok."


Dia kembali tidur dipangkuanku dan sekarang dia malah membiarkan
tanganku menekan kedua payudaranya. Kulihat nafasnya mulai tidak
beraturan ketika pelan pelan tanganku bersentuhan dengan pucuk
payudaranya. Ini adalah pengalaman pertama buat payudaranya disentuh
tubuh laki laki. Walaupun itu hanya dari balik baju dan BH, tetapi buat
Rini yang baru pertama merasakan, sudah membuat dia sulit bernafas
karena mulai terangsang.



"Rin kita pulang yok, sudah jam 8 nanti pamanmu bingung dan lapor polisi." Kataku sambil bercanda.



"Nanti aja Om.. Bentar lagi, Rini masih ingin disini 2 jam lagi," dia makin erat memelukku.


"Oupt.. Besok besok kita bisa jalan ke sini lagi, tapi kalau kamu
dimarahin karena terlambat pulang, ya.. Kita akan kesulitan untuk jalan
jalan lagi.."



Aku berkata sambil mebangunkan Rini dari pangkuanku.



"Ok deh Om.." dan secepat kilat dia mengecup pipiku. Aku hanya bisa terdiam kaget, karena nggak nyangka.



"Lho kok bengong Om.. Katanya mau pulang, ayo." Rini menarik tanganku.



"Ayo," kami berjalan berdekapan.


Dua tahun sudah berlalu, hari itu hari Jumat dan Rini memberitahuku
agar aku menemuinya di tempat biasa kami ketemu, di sebuah café dibawah
kantorku jam 4 sore. Aku sampai disitu persis jam 4, tapi aku nggak
lihat batang hidungnya si Rini, tiba tiba ada bisikan lembut di
belakang kupingku.



"Surprise!!"


Aku sempat nggak percaya dengan apa yang kulihat. Seorang wanita
cantik dengan celana jean dan kaos ketat berdiri di depanku. Pahanya
yang panjang dan mulus terlihat jelas dibawah balutan celana jean.
Disela pahanya tergambar jelas belahan kewanitaan yang belum pernah
tersentuh laki laki. Kaos ketat mempertegas beberadaan dua gunung
kembar didadanya, sedangkan bagian bawah kaos yang sedikit pendek
memperlihatkan kulit putih, bersih dan dihiasi sebuah tahi lalat kecil
tepat di bawah pusar. Oh.. Sungguh pemandangan yang indah dan langka.



"Jangan ngliatin gitu dong Om! emangnya nggak pernah lihat cewek pakai jean"



"Sorry, Rin.. Kamu luar biasa, membuat Om jadi linglung."



"Ah jangan ngerayu ah.."



"Nggak kok, hei kenapa tiba tiba kamu tampil beda begini," aku bertanya sambil menggamit tangannya untuk mencari tempat duduk.


"Ehem.. Ada yang lupa rupanya, hari Ini aku bukan anak SMU lagi,
aku sudah lulus, lulus, lulus dan merdeka dari segala pasungan dan
aturan sekolah.. Katanya sambil berlagak kayak Rendra baca puisi.



"Eh ingat kita lagi di café.. Tuh lihat tuh orang orang pada mandangin kamu."



"Sorry lah, habisnya hanya dengan Om aku bisa berbagi rasa jadi jangan salahkan daku kalau nggak bisa nahan diri."


"Om ku yang baik, hari ini aku ngucapin terimakasih yang sebesar
besarnya, karena kalau bukan Om yang Bantu sudah pasti sekolahku
berantakan."



Dia berdiri dari kursinya dan dengan cepat memberikan ciuman ringan dipipiku.



"Rin, nggak enak dilihatin tuh" aku berlagak alim lah dikit.


"Justru karena banyak yang lihatin Rini brani nyium Om, kalau
ditempat yang sepi.. Wah bisa bahaya dong..!" Dia mencubit hidungku
dengan gemas.



Aku bisa menduga isi fikiran orang orang disekitar kami, "Lha ini bapak sama anak atau Om sama.. Pacar mudanya ya!"


Mereka nggak salah, Rini adalah seorang gadis cantik yang sedang
tumbuh, sedangkan aku adalah laki laki 'Tua sih belum tapi muda sudah
lewat' ibarat mangga sudah mengkal kata orang Betawi, sudah nggak enak
dirujak.



Ke bagian 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar