Kamis, 19 November 2009

Ayu dan efi , Ibu dan anak sekaligus

Didalam
cerita pengalaman saya yang pertama yang saya beri judul "Masa kecil
saya di Palembang", saya menceritakan bagaimana saya diperkenalkan
kepada kenikmatan senggama pada waktu saya masih berumur 13 tahun oleh
Ayu, seorang wanita tetangga kami yang telah berumur jauh lebih tua.
Saya dibesarkan didalam keluarga yang sangat taat dalam agama. Saya
sebelumnya belum pernah terekspos terhadap hubungan laki-laki dan
perempuan. Pengetahuan saya mengenai hal-hal persetubuhan hanyalah
sebatas apa yang saya baca didalam cerita-cerita porno ketikan yang
beredar di sekolah ketika saya duduk di bangku SMP.


Pada masa itu belum banyak kesempatan bagi anak lelaki seperti saya
walaupun melihat tubuh wanita bugil sekalipun. Anak-anak lelaki masa
ini mungkin susah membayangkan bahwa anak seperti saya cukup melihat
gambar-gambar di buku mode-blad punya kakak saya seperti Lana Lobell,
dimana terdapat gambar-gambar bintang film seperti Ginger Roberts,
Jayne Mansfield, yang memperagakan pakaian dalam, ini saja sudah cukup
membuat kita terangsang dan melakukan masturbasi beberapa kali.


Bisalah dibayangkan bagaimana menggebu-gebunya gairah dan nafsu
saya ketika diberi kesempatan untuk secara nyata bukan saja hanya bisa
melihat tubuh bugil wanita seperti Ayu, tetapi bisa mengalami
kenikmatan bersanggama dengan wanita sungguhan, tanpa memperdulikan
apakah wanita itu jauh lebih tua. Dengan hanya memandang tubuh Ayu yang
begitu mulus dan putih saja sucah cukup sebetulnya untuk menjadi bahan
imajinasi saya untuk bermasturbasi, apalagi dengan secara nyata-nyata
bisa merasakan hangatnya dan mulusnya tubuhnya. Apalagi betul-betul
melihat kemaluannya yang mulus tanpa jembut. Bisa mencium dan mengendus
bau kemaluannya yang begitu menggairahkan yang kadang-kadang masih
berbau sedikit amis kencing perempuan dan yang paling hebat lagi buat
saya adalah bisanya saya menjilat dan mengemut kemaluannya dan
kelentitnya yang seharusnyalah masih merupakan buah larangan yang penuh
rahasia buat saya.


Mungkin pengalaman dini inilah yang membuat saya menjadi sangat
menikmati apa yang disebut cunnilingus, atau mempermainkan kemaluan
wanita dengan mulut. Sampai sekarangpun saya sangat menikmati
mempermainkan kemaluan wanita, mulai dari memandang, lalu mencium aroma
khasnya, lalu mempermainkan dan menggigit bibir luarnya (labia majora),
lalu melumati bagian dalamnya dengan lidah saya, lalu mengemut
clitorisnya sampai si wanita minta-minta ampun kewalahan. Yang terakhir
barulah saya memasukkan batang kemaluan saya kedalam liang sanggamanya
yang sudah banjir.


Setelah kesempatan saya dan Ayu untuk bermain cinta (saya tidak
tahu apakah itu bisa disebut bermain cinta) yang pertama kali itu, maka
kami menjadi semakin berani dan Ayu dengan bebasnya akan datang kerumah
saya hampir setiap hari, paling sedikit 3 kali seminggu. Apabila dia
datang, dia akan langsung masuk kedalam kamar tidur saya, dan tidak
lama kemudian sayapun segera menyusul.


Biasanya dia selalu mengenakan daster yang longgar yang bisa
ditanggalkan dengan sangat gampang, hanya tarik saja keatas melalui
kepalanya, dan biasanya dia duduk dipinggiran tempat tidur saya. Saya
biasanya langsung menerkam payudaranya yang sudah agak kendor tetapi
sangat bersih dan mulus. Pentilnya dilingkari bundaran yang
kemerah-merahan dan pentilnya sendiri agak besar menurut penilaian
saya. Ayu sangat suka apabila saya mengemut pentil susunya yang menjadi
tegang dan memerah, dan bisa dipastikan bahwa kemaluannya segera
menjadi becek apabila saya sudah mulai ngenyot-ngenyot pentilnya.


Mungkin saking tegangnya saya didalam melakukan sesuatu yang
terlarang, pada permulaannya kami mulai bersanggama, saya sangat cepat
sekali mencapai klimaks. Untunglah Ayu selalu menyuruh saya untuk
menjilat-jilat dan menyedot-nyedot kemaluannya lebih dulu sehingga
biasanya dia sudah orgasme duluan sampai dua atau tiga kali sebelum
saya memasukkan penis saya kedalam liang peranakannya, dan setelah saya
pompa hanya beberapa kali saja maka saya seringkali langsung
menyemprotkan mani saya kedalam vaginanya. Barulah untuk ronde kedua
saya bisa menahan lebih lama untuk tidak ejakulasi dan Ayu bisa
menyusul dengan orgasmenya sehingga saya bisa merasakan empot-empotan
vaginanya yang seakan-akan menyedot penis saya lebih dalam kedalam
sorga dunia.


Ayu juga sangat doyan mengemut-ngemut penis saya yang masih belum
bertumbuh secara maksimum. Saya tidak disunat dan Ayu sangat sering
menggoda saya dengan menertawakan "kulup" saya, dan setelah beberapa
minggu Ayu kemudian berhasil menarik seluruh kulit kulup saya sehingga
topi baja saya bisa muncul seluruhnya. Saya masih ingat bagaimana dia
berusaha menarik-narik atau mengupas kulup saya sampai terasa sakit,
lalu dia akan mengobatinya dengan mengemutnya dengan lembut sampai
sakitnya hilang. Setelah itu dia seperti memperolah permainan baru
dengan mempermainkan lidahnya disekeliling leher penis saya sampai saya
merasa begitu kegelian dan kadang-kadang sampai saya tidak kuat
menahannya dan mani saya tumpah dan muncrat ke hidung dan matanya.


Kadang-kadang Ayu juga minta "main" walaupun dia sedang mens.
Walaupun dia berusaha mencuci vaginanya lebih dulu, saya tidak pernah
mau mencium vaginanya karena saya perhatikan bau-nya tidak
menyenangkan. Paling-paling saya hanya memasukkan penis saja kedalam
vaginanya yang terasa banjir dan becek karena darah mensnya. Terus
terang, saya tidak begitu menikmatinya dan biasanya saya cepat sekali
ejakulasi. Apabila saya mencabut kemaluan saya dari vagina Ayu, saya
bisa melihat cairan darah mensnya yang bercampur dengan mani saya.
Kadang-kadang saya merasa jijik melihatnya.


Satu hari, kami sedang asyik-asyiknya menikmati sanggama, dimana
kami berdua sedang telanjang bugil dan Ayu sedang berada didalam posisi
diatas menunggangi saya. Dia menaruh tiga buah bantal untuk menopang
kepala saya sehingga saya bisa mengisap-isap payudaranya sementara dia
menggilas kemaluan saya dengan dengan kemaluannya. Pinggulnya naik
turun dengan irama yang teratur. Kami rileks saja karena sudah begitu
seringnya kami bersanggama. Dan pasangan suami isteri yang tadinya
menyewa kamar dikamar sebelah, sudah pindah kerumah kontrakan mereka
yang baru.


Saya sudah ejakulasi sekali dan air mani saya sudah bercampur
dengan jus dari kemaluannya yang selalu membanjir. Lalu tiba-tiba, pada
saat dia mengalami klimaks dan dia mengerang-erang sambil menekan saya
dengan pinggulnya, anak perempuannya yang bernama Efi ternyata sedang
berdiri dipintu kamar tidur saya dan berkata, "Ibu main kancitan,
iya..?" (kancitan = ngentot, bahasa Palembang)


Saya sangat kaget dan tidak tahu harus berbuat bagaimana tetapi
karena sedang dipuncak klimaksnya, Ayu diam saja terlentang diatas
tubuh saya. Saya melirik dan melihat Efi datang mendekat ketempat
tidur, matanya tertuju kebagian tubuh kami dimana penis saya sedang
bersatu dengan dengan kemaluan ibunya. Lalu dia duduk di pinggiran
tempat tidur dengan mata melotot.



"Hayo, ibu main kancitan," katanya lagi.


Lalu pelan-pelan Ayu menggulingkan tubuhnya dan berbaring disamping
saya tanpa berusaha menutupi kebugilannya. Saya mengambil satu bantal
dan menutupi perut dan kemaluan saya .



"Efi, Efi. Kamu ngapain sih disini?" kata Ayu lemas.


"Efi pulang sekolah agak pagi dan Efi cari-cari Ibu dirumah,
tahunya lagi kancitan sama Bang Johan," kata Efi tanpa melepaskan
matanya dari arah kemaluan saya. Saya merasa sangat malu tetapi juga
heran melihat Ayu tenang-tenang saja.



"Efi juga mau kancitan," kata Efi tiba-tiba.



"E-eh, Efi masih kecil.." kata ibunya sambil berusaha duduk dan mulai mengenakan dasternya.



"Efi mau kancitan, kalau nggak nanti Efi bilangin Abah."



"Jangan Efi, jangan bilangin Abah.., kata Ayu membujuk.



"Efi mau kancitan," Efi membandel. "Kalo nggak nanti Efi bilangin Abah.."



"Iya udah, diam. Sini, biar Johan ngancitin Efi." Ayu berkata.


Saya hampir tidak percaya akan apa yang saya dengar. Jantung saya
berdegup-degup seperti alu menumbuk. Saya sudah sering melihat Efi
bermain-main di pekarangan rumahnya dan menurut saya dia hanyalah
seorang anak yang masih begitu kecil. Dari mana dia mengerti tentang
"main kancitan" segala?


Ayu mengambil bantal yang sedang menutupi kemaluan saya dan
tangannya mengelus-ngelus penis saya yang masih basah dan sudah mulai
berdiri kembali.


"Sini, biar Efi lihat." Ayu mengupas kulit kulup saya untuk
menunjukkan kepala penis saya kepada Efi. Efi datang mendekat dan
tangannya ikut meremas-remas penis saya. Aduh maak, saya berteriak
dalam hati. Bagaimana ini kejadiannya? Tetapi saya diam saja karena
betul-betul bingung dan tidak tahu harus melakukan apa.


Tempat tidur saya cukup besar dan Ayu kemudian menyutuh Efi untuk
membuka baju sekolahnya dan telentang di tempat tidur didekat saya.
Saya duduk dikasur dan melihat tubuh Efi yang masih begitu remaja.
Payudaranya masih belum berbentuk, hampir rata tetapi sudah agak
membenjol. Putingnya masih belum keluar, malahan sepertinya masuk
kedalam. Ayu kemudian merosot celana dalam Efi dan saya melihat
kemaluan Efi yang sangat mulus, seperti kemaluan ibunya. Belum ada
bibir luar, hanya garis lurus saja, dan diantara garis lurus itu saya
melihat itilnya yang seperti mengintip dari sela-sela garis
kemaluannya. Efi merapatkan pahanya dan matanya menatap kearah ibunya
seperti menunggu apa yang harus dilakukan selanjutnya.


Saya mengelus-elus bukit venus Efi yang agak menggembung lalu saya
coba merenggangkan pahanya. Dengan agak enggan, Efi menurut, dan saya
berlutut di antara kedua pahanya dan membungkuk untuk mencium
selangkangan Efi.



"Ibu, Efi malu ah.." kata Efi sambil berusaha menutup kemaluannya dengan kedua tangannya.



"Ayo, Efi mau kancitan, ndak?" kata Ayu.



Saya mengendus kemaluan Efi dan baunya sangat tajam.


"Uh, mambu pesing." Saya berkata dengan agak jijik. Saya juga
melihat adanya "keju" yang keputih-putihan diantara celah-celah bibir
kemaluan Efi.


"Tunggu sebentar," kata Ayu yang lalu pergi keluar kamar tidur.
Saya menunggu sambil mempermainkan bibir kemaluan Efi dengan jari-jari
saya. Efi mulai membuka pahanya makin lebar.


Sebentar kemudian Ayu datang membawa satu baskom air dan satu
handuk kecil. Dia pun mulai mencuci kemaluan Efi dengan handuk kecil
itu dan saya perhatikan kemaluan Efi mulai memerah karena digosok-gosok
Ayu dengan handuk tadi. Setelah selesai, saya kembali membongkok untuk
mencium kemaluan Efi. Baunya tidak lagi setajam sebelumnya dan sayapun
menghirup aroma kemaluan Efi yang hanya berbau amis sedikit saja. Saya
mulai membuka celah-celah kemaluannya dengan menggunakan lidah saya dan
Efi-pun merenggangkan pahanya semakin lebar. Saya sekarang bisa melihat
bagian dalam kemaluannya dengan sangat jelas. Bagian samping kemaluan
Efi kelihatan sangat lembut ketika saya membuka belahan bibirnya dengan
jari-jari saya, kelihatanlah bagian dalamnya yang sangat merah.


Saya isap-isap kemaluannya dan terasa agak asin dan ketika saya
mempermainkan kelentitnya dengan ujung lidah saya, Efi
menggeliat-geliat sambil mengerang, "Ibu, aduuh geli, ibuu.., geli nian
ibuu.."


Saya kemudian bangkit dan mengarahkan kepala penis saya kearah
belahan bibir kemaluan Efi dan tanpa melihat kemana masuknya, saya
dorong pelan-pelan.



"Aduh, sakit bu..," Efi hampir menjerit.



"Johan, pelan-pelan masuknya." Kata Ayu sambil mengelus-elus bukit Efi.



Saya coba lagi mendorong, dan Efi menggigit bibirnya kesakitan.



"Sakit, ibu."



Ayu bangkit kembali dan berkata,"Johan tunggu sebentar," lalu dia pergi keluar dari kamar.


Saya tidak tahu kemana Ayu perginya dan sambil menunggu dia kembali
sayapun berlutut didepan kemaluan Efi dan sambil memegang batang penis,
saya mempermainkan kepalanya di clitoris Efi. Efi memegang kedua tangan
saya erat-erat dengan kedua tangannya dan saya mulai lagi mendorong.


Saya merasa kepala penis saya sudah mulai masuk tetapi rasanya
sangat sempit. Saya sudah begitu terbiasa dengan lobang kemaluan Ayu
yang longgar dan penis saya tidak pernah merasa kesulitan untuk masuk
dengan mudah. Tetapi liang vagina Efi yang masih kecil itu terasa
sangat ketat. Tiba-tiba Efi mendorong tubuh saya mundur sambil
berteriak, "Aduuh..!" Rupanya tanpa saya sadari, saya sudah mendorong
lebih dalam lagi dan Efi masih tetap kesakitan.


Sebentar lagi Ayu datang dan dia memegang satu cangkir kecil yang
berisi minyak kelapa. Dia mengolesi kepala penis saya dengan minyak itu
dan kemudian dia juga melumasi kemaluan Efi. Kemudian dia memegang
batang kemaluan saya dan menuntunnya pelan-pelan untuk memasuki liang
vagina Efi. Terasa licin memang dan saya-pun bisa masuk sedikit demi
sedikit. Efi meremas tangan saya sambil menggigit bibir, apakah karena
menahan sakit atau merasakan enak, saya tidak tahu pasti.



Saya melihat Efi menitikkan air mata tetapi saya meneruskan memasukkan batang penis saya pelan-pelan.



"Cabut dulu," kata Ayu tiba-tiba.


Saya menarik penis saya keluar dari lobang kemaluan Efi. Saya bisa
melihat lobangnya yang kecil dan merah seperti menganga. Ayu kembali
melumasi penis saya dan kemaluan Efi dengan minyak kelapa, lalu
menuntun penis saya lagi untuk masuk kedalam lobang Efi yang sedang
menunggu. Saya dorong lagi dengan hati-hati, sampai semuanya terbenam
didalam Efi. Aduh nikmatnya, karena lobang Efi betul-betul sangat
hangat dan ketat, dan saya tidak bisa menahannya lalu saya tekan
dalam-dalam dan air manikupun tumpah didalam liang kemaluan Efi. Efi
yang masih kecil. Saya juga sebetulnya masih dibawah umur, tetapi pada
saat itu kami berdua sedang merasakan bersanggama dengan disaksikan
Ayu, ibunya sendiri.


Efi belum tahu bagaimana caranya mengimbangi gerakan bersanggama
dengan baik, dan dia diam saja menerima tumpahan air mani saya. Saya
juga tidak melihat reaksi dari Efi yang menunjukkan apakah dia
menikmatinya atau tidak. Saya merebahkan tubuh saya diatas tubuh Efi
yang masih kurus dan kecil itu. Dia diam saja.


Setelah beberapa menit, saya berguling kesamping dan merebahkan
diri disamping Efi. Saya merasa sangat terkuras dan lemas. Tetapi
rupanya Ayu sudah terangsang lagi setelah melihat saya menyetubuhi
anaknya. Diapun menaiki wajah saya dan mendudukinya dan menggilingnya
dengan vaginanya yang basah, dan didalam kami di posisi 69 itu diapun
mengisap-ngisap penis saya yang sudah mulai lemas sehingga penis saya
itu mulai menegang kembali.


Wajah saya begitu dekat dengan anusnya dan saya bisa mencium
sedikit bau anus yang baru cebok dan entah kenapa itu membuat saya
sangat bergairah. Nafsu kami memang begitu menggebu-gebu, dan saya
sedot dan jilat kemaluan Ayu sepuas-puasnya, sementara Efi menonton
kami berdua tanpa mengucapkan sepatah katapun. Saya sudah mengenal
kebiasaan Ayu dimana dia sering kentut kalau betul-betul sedang klimaks
berat, dan saat itupun Ayu kentut beberapa kali diatas wajah saya. Saya
sempat melihat lobang anusnya ber-getar ketika dia kentut, dan sayapun
melepaskan semburan air mani saya yang ketiga kalinya hari itu didalam
mulut Ayu. "Alangkah lemaknyoo..!" saya berteriak dalam hati.



"Ugh, ibu kentut," kata Efi tetapi Ayu hanya bisa mengeluarkan suara seperti seseorang yang sedang dicekik lehernya.


Hanya sekali itu saja saya pernah menyetubuhi Efi. Ternyata dia
masih belum cukup dewasa untuk mengetahui nikmatnya bersanggama. Dia
masih anak kecil, dan pikirannya sebetulnya belum sampai kepada hal-hal
seperti itu. Tetapi saya dan Ayu terus menikmati indahnya permainan
bersanggama sampai dua atau tiga kali seminggu. Saya masih ingat
bagaimana saya selalu merasa sangat lapar setelah setiap kali kami
selesai bersanggama. Tadinya saya belum mengerti bahwa tubuh saya
menuntut banyak gizi untuk menggantikan tenaga saya yang dikuras untuk
melayani Ayu, tetapi saya selalu saya merasa ingin makan telur
banyak-banyak. Saya sangat beruntung karena kami kebetulan memelihara
beberapa puluh ekor ayam, dan setiap pagi saya selalu menenggak 4
sampai 6 butir telur mentah. Saya juga memperhatikan dalam tempo
setahun itu penis saya menjadi semakin besar dan bulu jembut saya mulai
menjadi agak kasar. Saya tidak tahu apakah penis saya cukup besar
dibandingkan suami Ayu ataupun lelaki lain. Yang saya tahu adalah bahwa
saya sangat puas, dan kelihatannya Ayu juga cukup puas.


Saya tidak merasa seperti seorang yang bejat moral. Saya tidak
pernah melacur dan ketika saya masih kawin dengan isteri saya yang
orang bule, walaupun perkawinan kami itu berakhir dengan perceraian,
saya tidak pernah menyeleweng. Tetapi saya akan selalu berterima kasih
kepada Ayu (entah dimana dia sekarang) yang telah memberikan saya
kenikmatan didalam umur yang sangat dini, dan pelajaran yang sangat
berharga didalam bagaimana melayani seorang perempuan, terlepas dari
apakah itu salah atau tidak.



November 2003.

Seattle, Washington



E N D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar