Kamis, 19 November 2009

Burung Burung Kecil

Sebagai
seorang Ibu rumah tangga pekerjaan pagi itu sudah aku selesaikan semua.
Aku hempaskan diriku di sofa ruang keluarga untuk melihat acara TV pagi
itu. Setelah aku pindah-pindah channel TV ternyata nggak ada acara yang
menarik. Akhirnya aku putuskan untuk tiduran di kamar tidur.


Setelah merebahkan badanku beberapa lam ternyata mata ini tidak mau
terpejam. Rumah yang besar ini terasa sangat sepi pada saat-saat
seperti ini. Maklum suami bekerja di kantornya pulang paling awal jam
15.00 sore, sedang anakku yang pertama kuliah di sebuah PTN di Bandung.
Anakku yang yang kedua tadi pagi minta ijin untuk pulang sore karena
ada acara extrakurikuler di sekolahnya. Sebagai seorang istri pegawai
BUMN yang mapan aku diusia yang 45 tahun mempunyai kesempatan untuk
merawat tubuh. Teman-temanku sering memuji kecantikan dan kesintalan
tubuhku. Namun yang sering membuatku risih adalah tatapan para lelaki
yang seolah menelanjangi diriku. Bahkan temen-teman anakku sering
berlama-lama bermain di rumahku. Aku tahu seringkali mata mereka
mencuri pandang kepadaku.


Rumahku terletak di pinggiran kota S, kawasan yang kami huni belum
terlalu padat. Halaman rumahku memang luas terutama bagian depan sedang
untuk bagian samping ada halaman namun banyak ditumbuhi pepohanan
rindang. Kami membuat teras juga disamping rumah kami. Sedang kamar
tidurku dan suamiku mempunyai jendela yang berhadapan langsung dengan
halaman samping rumah kami.


Belum sempat memejamkan mata aku terdengar suara berisik dari
halaman samping rumahku. Aku bangkit dan melihat keluar. Kulihat dua
anak SMP yang sekolah didekat rumahku. Mereka kelihatan sedang berusaha
untuk memetik mangga yang memang berbuah lebat. Tentu saja kau sebagai
pemilik rumah tidak senang perilaku anak-anak tersebut. Bergegas aku
keluar rumah.

Seraya berkacak pinggang aku berkata pada mereka, "Dik, jangan dipetik dulu nanti kalau sudah masak pasti Ibu kasih".

Tentu saja mereka berdua ketakutan. Kulihat mereka menundukkan wajahnya. Aku yang tadi hendak marah akhirnya merasa iba.
"Nggak apa-apa Dik, Ibu hanya minta jangan dipetik kan masih belum
masak nanti kalau sakit perut bagaimana" aku mencoba menghibur.


Sedikit mereka berani mengangkat wajah. Dari dandanan dan
penampilan mereka kelihatan bahwa mereka anak orang mampu. Melihat
wajah mereka mereka yang iba akhirnya aku mengajak mereka ke dalam
rumah. Aku tanya kenapa pada jam-jam belajar mereka kok ada diluar
sekolah ternyata pelajaran sudah habis guru-guru ada rapat. Setelah
tahu begitu aku minta mereka tinggal sebentar karena mungkin mereka
belum dijemput. Iseng-iseng aku juga ada teman untuk ngobrol. Benar
dugaanku mereka adalah anak-anak orang kaya, keduanya walaupun masih
kecil namun aku dapat melihat garis-garis ketampanan mereka yang baru
muncul ditambah dengan kulit mereka yang putih bersih. Yang satu
bernama Doni yang satunya lagi bernama Edo.


Ketika ngobrol aku tahu mata-mata mereka sering mencuri pandang ke
bagian dadaku, aku baru sadar bahwa kancing dasterku belum sempat aku
kancingkan., sehingga buah dadaku bagian atas terlihat jelas. Aku
berpikir laki-laki itu sama saja dari yang muda sampai yang tua. Semula
aku tidak suka dengan perilaku mereka namun akhirnya ada perasaan lain
sehingga aku biarkan mata mereka menikmati keindahan payudaraku. Aku
menjadi menikmati tingkah laku mereka kepada diriku.


Bahkan aku mempunyai pikiran yang lebih gila lagi untuk menggoda
mereka, aku sengaja membuka beberapa kancing dasterku dengan alasan
hari itu sangat panas. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin salah
tingkah. Sekarang mereka bisa melihat dengan leluasa.

"Hayoo.. pada ngliatin apa!", Aku pura-pura mengagetkan mereka.

Tentu saja ini sangat membuat mereka menjadi sangat salah tingkah.

"Ti.. dak.. kok.. Bu Nita" Doni membela diri.

"I.. itu acara TV bagus Bu Nita" Edo menambahkan.

"Nggak apa-apa Ibu tahu kalian melihat tetek Ibu to.. ngaku aja" aku mencoba mendesak mereka.
"E.. Anu Bu Nita" Edo nampak akan mengatakan sesuatu, namun belum
lagi selesai kalimat yang diucapkannya aku kembali menimpali, "Mama
kalian kan juga punya to, dulu kalian kan netek dari Mama kalian"

"I.. ya Bu Nita" Doni menjawab.
"Tapi sekarang kami kan sudah nggak netek lagi, lagian punya Mama
lain ama punya Bu Nita" Edo nampaknya sudah mampu menguasai keadaannya.

"Lain bagaimana?" Aku menanyakan.

"Punya Mama nggak sebesar punya Bu Nita" Doni menyahut.


Kata-kata tersebut membuat aku berpikiran lebih gila lagi. Gairahku
yang semakin meninggi sudah mengalahkan norma-norma yang ada, aku sudah
kehilangan kendali bahwa yang ada di depanku adalah anak-anak polos
yang masih bersih pikirannya. Aku menarik kursi kehadapan mereka.

"Doni, Edo kalian mungkin sekarang sudah nggak netek lagi karena kalian sudah besar kalian boleh kok.." aku berkata.

Tentu saja kata-kataku ini membuat mereka penasaran.

"Boleh ngapain Bu Nita" sergah Doni.

"Boleh netek sama Ibu, kalian mau nggak..?" tanyaku walau sebenarnya aku sangat sudah tau jawaban mereka.

"E.. ma.. u" jawab Edo.

"Mau sekali dong" Doni menyahut.


Jawaban mereka membuat aku semakin bergairah. Aku berpikiran hari
ini aku akan mendapatkan sensasi dari pria-pria muda ini. Aku duduk
dihadapan mereka kemudian dengan agak tergesa aku melepaskan daster
bagian atasku sehingga kini bagian atas tubuhku hanya tertutupi BH
warna krem. Sepertinya mereka sudah tidak sabaran lagi terlihat dari
tangan-tangan mereka yang mulai menggerayangi susuku. Aku menjadi geli
melihat tingkah mereka.

"Sabar sayang.. Ibu lepas dulu kutangnya" sambil tersenyum aku berkata.
Setelah aku melepas kutang, tumpahlah isinya, sekarang buah dadaku
terbuka bebas. Mata mereka semakin melotot memandangi payudaraku.
Tampaknya mereka bingung apa yang harus mereka lakukan.

"Ayo dimulai kok malah bengong" aku menyadarkan mereka.

Mereka bangkit dari duduknya. Tangan mereka kelihatan berebut untuk meremas.

"Jangan rebutan dong.. ah.. Doni yang kiri.. e yang kanan" perintahku.


Birahiku semakin meninggi, sementara Doni sudah mulai mendekatkan
bibirnya ke putingku Edo masih membelai sambil dipilin-pilin putingku.
Edo mulai mengisap-isap putingku. Oh betapa seakan perasaanku melayang
ke awan, apalagi ketika mereka berdua mengisap secara bersamaan nafasku
menjadi tersengal. Tanganku membelai kadang agak sedikit menjambak
sambil menekan kepala mereka agar lebih dalam lagi menikmati buah
dadaku.



Mereka semakin menikmati mainan mereka aku semakin terhanyut, aku ingin lebih dari hanya ini. Aku semakin lupa.

Ketika baru nikmat-nikmatnya tiba-tiba Edo melepaskan isapannya sambil berkata, "Bu Nita kok nggak keluar air susunya?".

Aku kaget harus menjawab apa akhirnya kau menjawab sekenanya, "Edo mau nggak, kalo nggak mau biar Doni saja.. mau nggak?"

"Mau.." Edo langsung menyahut.

Doni tidak menggubris dia semakin lahap menikmati buah dadaku. Akhirnya aku ingin lebih dari sekedar itu.

"Don.. Edo.. ber.. henti dulu.." aku meminta.

"Ada apa Bu Nita?" Doni bertanya.

"Kita ke kamar saja yuk.. disini posisinya nggak enak" jawabku.
Kemudian aku berdiri tentu saja daster yang aku pakai merosot
kebawah. Mata mereka menatap tubuhku yang sintal dengan penuh nafsu.

"Ayo.." aku mengajak.


Aku berjalan ke kamarku hanya menggunakan celana dalam yang
berwarna hitam yang kontras dengan kulitku yang putih. Seperti kerbau
dicocok hidungnya mereka mengikuti diriku. Sampai di dalam kamar aku
duduk di sisi ranjang.

"Don.. Edo.. sayang lepas saja seragam kalian" pintaku.

"Tapi Bu Nita" Edo masih agak ragu.

"Sudahlah turuti saja" aku menyahut.
Dengan malu-malu mereka mulai melepas baju dan celana seragam
mereka. Tampaklah kontol-kontol dari pria-pria muda itu sudah ngaceng.
Rambut kemaluan mereka tampak belum tumbuh lebat, sedang batang
kemaluannya belum tumbuh benar masih agak kecil. Namun melihat
pemandangan ini libidoku semakin naik tinggi.

"Bu Nita curang.." Edo berkata.

"Kok curang bagaimana?" aku bertanya.

"Bu Nita nggak melepas celana Ibu!" Edo menjawab.


Gila anak ini, aku tersenyum kemudian bangkit dari dudukku. Celana
dalamku kemudian aku lepaskan. Sekarang kami bertiga telanjang bulat
tanpa sehelai benangpun. Tatapan mereka tertuju pada benda yang ada
dibawah pusarku. Bulu yang lebat dan hitam yang tumbuh menarik
perhatian mereka. Aku duduk kembali dan agak meringsut ke rangjang lalu
menaikkan kakiku dan mengangkangkannya. Memekku terbuka lebar dan tentu
saja terlihat isi-isinya. Mereka mendekat dan melihat memekku.

"Ini namanya memek, lain dengan punya kalian" aku menerangkan.

"Kalian lahir dari sini" aku melanjutkan.

Tangan mereka mengelus-elus bibir kemaluanku. Sentuhan ini nikmat sekali.

"Ini kok ada lobang lagi" Doni bertanya.

"Lho ini kan lobang buat beol" aku agak geli sambil menerangkan.


Jari Doni masuk ke lobang vaginaku dan bermain-main di dalamnya.
Cairan-cairan tampak semakin membanjiri liang vaginaku. Sementara jari
Edo kelihatannya lebih tertarik lubang duburku. Jari Edo yang semula
mengelus-elus lobang dubur kemudian nampaknya mulai berani memasukkan
ke lobang duburku. Aku biarkan kenikmatan ini berlangsung.

"Ouw.. a.. duh.. e.. nak.. sekali.. nik.. mat.. sa.. yang.. terr.. us" aku merintih.


Pria-pria muda ini agak lama aku biarkan mengobok-obok
lobang-lobangku. Sungguh pria-pria muda ini memberiku kenikmatan yang
hebat. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku tanpa bisa berkata-kata
hanya rintihan dan nafas yang tersengal-sengal.
Akhirnya aku mendorong mereka aku bangkit dan menghampiri mereka
yang berdiri di tepi ranjang. Aku berjongkok dihadapan mereka sambil
kedua tanganku memegang diiringi dengan remasan-remasan kecil pada
penis mereka. Aku mendekatkan wajahku pada penis Doni aku kulum dan
jilati kepala penis muda nan jantan ini. Tampak kedua lutut Doni
tergetar. Aku masukkan seluruh batang penis itu kedalam mulutku dan aku
membuat gerakan maju mundur. Tangan Doni mencengkeram erat kepalaku.
Sementara tanganku yang satu mengocok-kocok kontol Edo.



"Bu Nita.. say.. ya.. ma.. u.. ken.. cing.." Doni merintih.

Tampaknya anak ini akan orgame aku nggak kan membiarkan hal ini terjadi karena aku masih ingin permainan ini berlanjut.
Kemudian aku beralih pada penis Edo. Tampak penis ini agak lebih
besar dari kepunyaan Doni. Aku mulai jilati dari pangkal sampai pada
ujungnya, lidahku menari di kepala penis Edo. Aku tusuk-tusuk kecil
lobang perkencingan Edo kemudian aku masukkan seluruh batang penis Edo.
Jambakan rambut Edo kencang sekali ketika aku semakin mempercepat
kulumanku.

"Wouw.. a.. ku.. ju.. ga.. mo.. ken.. cing.. nih" Edo merintih.
Aku hentikan kulumanku kemudian aku bangkit dan naik ke atas
ranjang lalu aku kangkangkan kakiku lebar-lebar sehingga memekku
terbuka lebar.
"Siapa duluan sayang, itu tititnya dimasukkan ke sini" aku berkata
sambil tanganku menunjuk ke lobang vaginaku yang nampak sudah basah
kuyup.


Mereka berpandangan, tampaknya membuat persetujuan. Dan akhirnya
Doni duluan yang akan menusukku. Doni naik ke atas ranjang dan
mengangkangiku tampak penis yang tegang mengkilat siap menusuk lobang
wanita yang pantas menjadi neneknya. Aku tuntun penis Doni masuk ke
lobang kenikmatanku. Aku tuntun pria muda ini melepas keperjakaannya,
memasuki kenikmatan dengan penuh kasih. Dan bless.. batang zakar Doni
amblas ke dalam vaginaku.

"Ah.." aku mendesis seperti orang kepedasan

"Masukkan.. le.. bih.. da.. lam lagi.. dan genjot.. say.. ang" aku memberi perintah.

"Iya.. Bu Nita.. e.. naak.. se.. kali" Doni berkata.


Aku hanya bisa tersenyum sambil menggigit bibir bagian bawahku.
Tampaknya Doni cepat memahami perkataanku dia memompa wanita tua yang
ada dibawahnya dengan seksama. Genjotannya semakin lama semakin cepat.
Edo yang menunggu giliran hanya tertegun dengan permainan kami.
Genjotan Doni kian cepat aku imbangi dengan goyanganku. Dan tampaknya
hal ini membuat Doni tidak kuat lagi menahan sperma yang akan keluar.

Dan akhirnya "Sa.. ya.. mo.. ken.. cing.. la.. gi.. Tak.. ta.. han.. la.. gi.." Doni setengah berteriak.
Kakiku aku lipat menahan pantat Doni. Doni merangkul erat tubuhku
dan.. cret.. cret.. ser.. cairan hangat membajiri liang kewanitaanku.
Doni terkulai lemas diatas tubuhku, butiran-butiran keringat keluar
dari sekujur tubuhnya.



"Enak.. se.. ka.. li Bu Nita" Doni berkata.

"Iya.. tapi sekarang gantian Edo dong sayang" aku berkata.

Doni mencabut penisnya yang sudah agak mengempis dan terkapar lemas disampingku.

"Edo sekarang giliranmu sayang" aku berkata kepada Edo .

"Kamu tusuk Ibu dari belakang ya.."aku memberi perintah.
Kemudian aku mengambil posisi menungging sehingga memekku pada
posisi yang menantang. Edo naik ke atas ranjang dan bersiap menusuk dar
belakang. Dan bless.. penis pria muda yang kedua memasuki lobang
kenikmatanku yang seharusnya belum boleh dia rasakan seiring dengan
melayangnya keperjakaan dia.


Tampaknya Edo sudah agak bisa menggerakkan tubuhnya dengan benar
dari dia melihat permainan Doni. Edo menggerakkan maju mundur
pantatnya. Aku sambut dengan goyangan erotisku. Semakin lama gerakan
Edo tidak teratur semakin cepat dan tampaknya puncak kenikmatan akan
segera diraih oleh anak ini. Dan akhirnya dengan memeluk erat tubuhku
dari belakang sambil meremas susuku Edo mengeluarkan spermanya.. cret..
cret.. lubang vaginaku terasa hangat setelah diisi sperma dua anak
manis ini..

Edo terkapar disampingku. Dua anak mengapitku terkapar lemas setelah memasuki dunia kenikmatan.


Aku bangkit dan berjalan ke dapur tanpa berpakaian untuk membuatkan
susu biar tenaga mereka pulih. Setelah berpakaian dan minum susu mereka
minta ijin untuk pulang.
"Doni, Edo kalian boleh pulang dan jangan cerita kepada
siapa-siapa tentang semua ini, kalian boleh minta lagi kapan saja asal
waktu dan tempat memungkinkan" aku berkata kemudian mencium bibir kedua
anak itu.

Aku memberi uang jajan mereka masing-masing 50.000 ribu.

Dan sampai saat ini mereka telah kuliah, aku masih sering kencan dengan mereka. Aku semakin sayang dengan mereka.



E N D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar